OVERMACHT YANG OBYEKTIF SEBAGAI ALASAN
UNTUK BATALNYA PERJANJIAN JUAL BELI
Dalam
penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 telah di tegaskan bahwa Indonesia
adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat),tidak berdasarkan atas
kuasa belaka (Machtsstaat).
Dari
penjelasan di atas,di mana Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan norma
hukum yang tertinggi di negara kita sekaligus sebagai hukum dasar tertulis,
maka sudah selayaknyalah bahwa setiap produk hukum seperti ketetapan
MPR,Undang-Undang,Peraturan Pemerintah serta peraturan perundangan lainnya
haruslah bersumber kepada Undang Dasar 1945.
Tidak terkecuali Pula halnya dengan segala keputusan atau kebijaksanaan
Hakim Pengadilan di dalam memutuskan setiap perkara yang mempergunakan produk
hukum, baik produk hukum nasional (pasca kemerdekaan) ataupun hukum warisan
kolonial Belanda termasuk di dalamnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), haruslah berpedoman serta tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah hukum yang bersumber kepada UUD 1945.Kesemuanya itu
berpengharapan agar perikehidupan kebangsaan yang aman, tentram, damai serta
dinamis dapat terwujud.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH.Perdata) yang merupakan salah satu peraturan perundang-undangan
warisan kolonial Belanda yang masih berlaku hingga saat ini, dimana yang
mendasari dari berlakunya produk hukum warisan kolonial Belanda tersebut adalah
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.Namun demikian Mahkamah Agung Republik
Indonesia melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 menganggap
Burgerlijk Wetboek tidak sebagai Undang-Undang, melainkan hanya sebagai suatu
dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis.[1]
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tersebut terdiri dari 4
(empat) Buku, yaitu :
1. Buku Kesatu tentang Orang.
2. Buku Kedua tentang Kebendaan.
3. Buku Ketiga tentang Perikatan.
4. Buku Keempat tentang Pembuktian Dan
Daluwarsa.
Berkenaan dengan Buku Ketiga
mengenai Perikatan, undang-undang sendiri tidak memberikan definisi tentang perikatan.
Adapun definisi dari hukum perikatan (Verbintenis recht) hanya di berikan oleh
ilmu pengetahuan,yakni :
“Suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu
dan pihak lainnya berkewajiban atas sesuatu”[2]
Dengan
demikian suatu perikatan akan timbul manakala ada hubungan hukum antara dua
orang, yaitu si kreditur atau pihak yang berpiutang yang berhak atas sesuatu dengan
pihak debitur atau pihak yang berutang atau pihak yang berhutang yang mempunyai
kewajiban untuk memenuhi sesuatu tuntutan tersebut. Adapun sesuatu yang
menjadi obyek perikatan dinamakan “Prestasi”, di mana menurut ketentuan Pasal
1234 KUH .Perdata dapat berupa :
1.
Memberikan
atau menyerahkan sesuatu barang.
2. Berbuat atau
melakukan suatu perbuatan.
3. Tidak berbuat
atau melakukan sesuatu perbuatan.
Selanjutnya
dalam Pasal 1233 KUH.Perdata dinyatakan, bahwa perikatan dapat timbul baik
karena perjanjian ataupun persetujuan maupun karena undang-undang. Dengan
perkataan lain, bahwa sumber dari perikatan tersebut adalah perjanjian dan
undang-undang.
Adapun yang dimaksud
dengan perjanjian atau persetujuan menurut ketentuan Pasal 1313 KUH.Perdata
adalah sebagai berikut:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.
Salah satu contoh perikatan yang bersumber pada perjanjian adalah
perjanjian jual beli, di mana pihak pembeli atau debitur berkewajiban untuk
memenuhi prestasinya berupa pembayaran dengan sejumlah uang terhadap suatu
barang yang telah disepakati bersama dengan penjual atau kreditur mengenai
harganya dan telah diserahkan oleh penjual atau kreditur kepada pembeli atau
debitur.
Pemenuhan prestasi ini
yang berupa pembayaran dengan sejumlah uang adalah merupakan essensi atau
hakekat dari suatu perikatan atau perjanjian jual beli, berdasar ketentuan
Pasal 1457 KUH.Perdata.Begitu pula halnya mengenai batas waktu
pembayaran,biasanya telah di sepakati bersama oleh kedua belah pihak.Sehingga
apabila dalam batas waktu yang di setujui tersebut pihak pembeli tidak dapat
melakukan pemenuhan prestasi (membayar harga barang), dapatlah si pembeli
dikatakan telah melakukan perbuatan wanprestasi atau inkar janji. Yaitu tidak
memenuhi kewajiban yang telah ditentukan dan telah di sepakati bersama dalam
perikatan atau perjanjian sebagaimana tersebut di atas.
Tidak dipenuhinya
kewajiban oleh pihak pembeli atau debitur ada dua kemungkinan, yaitu :
1. Karena kesalahan
debitur atau pembeli, baik karena kesengajaan
maupun karena kelalaian.
2. Karena keadaan
memaksa (force majeur, overmacht);terjadi di luar kemampuan debitur atau
pembeli, debitur tidak bersalah.
Terhadap keadaan memaksa tersebut, maka pihak debitur tidaklah dapat di
persalahkan, karena keadaan memaksa(force majeur, overmacht) tersebut timbulnya
di luar kemauan dan kemampuan debiturTidak dipenuhinya prestasi yang
diakibatkan karena adanya suatu keadaan memaksa(force majeur, overmacht) dapat
terjadi manakala benda yang menjadi objek perikatan tersebut binasa atau lenyap
(Pasal 1444 ayat (1) KUH.perdata); atau bisa pula terjadi dikarenakan perbuatan
debitur untuk melakukan pemenuhan prestasinya,oleh ketentuan Pasal 1381
KUH.perdata perikatan atau perjanjian yang di maksud menjadi batal.[3]
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata, masalah keadaan memaksa(force
majeur, overmacht) ini di atur dalam ketentuan Pasal 1244 dan 1245, di mana
dalam kedua pasal tersebut terdapat bagian yang mengater tentang ganti rugi.
Adapun dasar pikiran pembuat Undang-Undang ialah : “Keadaan memaksa(force
majeur, overmacht) adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar
ganti rugi”.[4]
Sehubungan
dengan keadaan memaksa ini, kemudian timbul akibat :
1. Kreditur tidak
dapat meminta pemenuhan prestasi.(Pada Overmacht sementara sampai berakhirnya
keadaan memaksa tadi).
2. Gugurnya
kewajiban debitur untuk mengganti kerugian.(Pasal-pasal 1244 dan 1245
KUH.Perdata).
3. Pihak lawan
tidak perlu meminta pemutusan perjanjian.
Sehubungan dengan keadaan memaksa(force majeur, overmacht) ini, dalam
ilmu hukum dikenal adanya 2(dua) macam ajaran atau teori, yakni ajaran atau
teori keadaan memaksa(force majeur, overmacht) yang subjektif atau relatif dan
ajaran atau teori keadaan memaksa(force
majeur, overmacht) yang objektif atau mutlak.
Ajaran keadaan memaksa yang objektif diartikan bahwa tidak di penuhinya
prestasi oleh debitur sifatnya relatif. Artinya barangkali hanya pihak debitur
sendiri yang tidak dapat memenuhi prestasi, sedangkan bila orang lain yang
mengalami peristiwa di maksud ada kemungkinan orang tersebut dapat memenuhi
prestasinya.Sehingga untuk ajaran keadaan memaksa yang subjektif atau relatif
ini dapat pula dikatakan sebagai “difficultas”. Pada keadaan memaksa yang
subjektif ini, perikatan atau perjanjian tersebut tidak berarti menjadi batal,
akan tetapi hanya berhenti berlakunya untuk sementara waktu. Apabila keadaan
memaksa tersebut sudah tidak ada,maka perikatan atau perjanjian tersebut
berlaku kembali.[6]
Dalam teori subjektif ini, ketidakmungkinan subjektif dibagi dalam 2
(dua) golongan, yaitu:
1. Debitur yang
bersangkutan tidak mungkin memenuhi prestasi, misalnya karena debitur sakit
atau jatuh miskin.
2. Pemenuhan prestasi
secara teoritis masih mungkin, akan tetapi praktis akan memberatkan debitur.
Jadi
teori subjektif ini memperhatikan pribadi daripada debitur pada waktu
terjadinya overmacht,misalnya kesehatan ,kemampuan keuangan debitur.
Terhadap keadan memaksa yang objektif,maka
perikatan atau perjanjian yang di buat oleh para pihak menjadi batal karenanya
untuk waktu seterusnya. Sehingga akibat yang timbul dari peristiwa tersebut,
para pihak tidak diwajibkan lagi atau dibebaskan dari segala kewajiban untuk
memenuhi prestasinya masing-masing. Dengan perkataan lain, bahwa batalnya
perjanjian tersebut menyebabkan seolah-olah tidak pernah ada perjanjian
sebelumnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mendorong penulis untuk menyusun
judul skipsi yang berjudul :
“OVERMACHT
YANG OBYEKTIF SEBAGAI ALASAN UNTUK BATALNYA PERJANJIAN JUAL BELI KHUSUSNYA DI
KOTA SEMARANG”
[1] Himpunan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Tahun 1951-1978. Dihimpun dan Diproduksi oleh: Direktorat
hukum dan Peradilan Mahkamah Agung,
1979.
2 Purwahid, Patrik, Hukum Perdata I (Azas-Azas
Hukum Perikatan). (Semarang: Seksi Hukum Perdata, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 1986), Halaman 1.
5 Purwahid, Patrik, op.cit, Halaman 20
No comments:
Post a Comment