Sunday, May 12, 2013

OVERMACHT YANG OBYEKTIF SEBAGAI ALASAN UNTUK BATALNYA PERJANJIAN JUAL BELI


OVERMACHT YANG OBYEKTIF SEBAGAI ALASAN UNTUK BATALNYA PERJANJIAN JUAL BELI

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 telah di tegaskan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat),tidak berdasarkan atas kuasa belaka (Machtsstaat).
Dari penjelasan di atas,di mana Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan norma hukum yang tertinggi di negara kita sekaligus sebagai hukum dasar tertulis, maka sudah selayaknyalah bahwa setiap produk hukum seperti ketetapan MPR,Undang-Undang,Peraturan Pemerintah serta peraturan perundangan lainnya haruslah bersumber kepada Undang Dasar 1945.
Tidak terkecuali Pula halnya dengan segala keputusan atau kebijaksanaan Hakim Pengadilan di dalam memutuskan setiap perkara yang mempergunakan produk hukum, baik produk hukum nasional (pasca kemerdekaan) ataupun hukum warisan kolonial Belanda termasuk di dalamnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), haruslah berpedoman serta tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang bersumber kepada UUD 1945.Kesemuanya itu berpengharapan agar perikehidupan kebangsaan yang aman, tentram, damai serta dinamis dapat terwujud.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH.Perdata) yang merupakan salah satu peraturan perundang-undangan warisan kolonial Belanda yang masih berlaku hingga saat ini, dimana yang mendasari dari berlakunya produk hukum warisan kolonial Belanda tersebut adalah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.Namun demikian Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai Undang-Undang, melainkan hanya sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis.[1]
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tersebut terdiri dari 4 (empat) Buku, yaitu :
1.      Buku Kesatu tentang Orang.
2.      Buku Kedua tentang Kebendaan.
3.      Buku Ketiga tentang Perikatan.
4.      Buku Keempat tentang Pembuktian Dan Daluwarsa.

Berkenaan dengan Buku Ketiga mengenai Perikatan, undang-undang sendiri tidak memberikan definisi tentang perikatan. Adapun definisi dari hukum perikatan (Verbintenis recht) hanya di berikan oleh ilmu pengetahuan,yakni :
“Suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih  dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lainnya berkewajiban atas sesuatu”[2]
Dengan demikian suatu perikatan akan timbul manakala ada hubungan hukum antara dua orang, yaitu si kreditur atau pihak yang berpiutang yang berhak atas sesuatu dengan pihak debitur atau pihak yang berutang atau pihak yang berhutang yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi sesuatu tuntutan tersebut. Adapun sesuatu yang menjadi obyek perikatan dinamakan “Prestasi”, di mana menurut ketentuan Pasal 1234 KUH .Perdata dapat berupa :
1.      Memberikan atau menyerahkan sesuatu barang.
2.      Berbuat atau melakukan suatu perbuatan.
3.      Tidak berbuat atau melakukan sesuatu perbuatan.

Selanjutnya dalam Pasal 1233 KUH.Perdata dinyatakan, bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian ataupun persetujuan maupun karena undang-undang. Dengan perkataan lain, bahwa sumber dari perikatan tersebut adalah perjanjian dan undang-undang.
            Adapun yang dimaksud dengan perjanjian atau persetujuan menurut ketentuan Pasal 1313 KUH.Perdata adalah sebagai berikut:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Salah satu contoh perikatan yang bersumber pada perjanjian adalah perjanjian jual beli, di mana pihak pembeli atau debitur berkewajiban untuk memenuhi prestasinya berupa pembayaran dengan sejumlah uang terhadap suatu barang yang telah disepakati bersama dengan penjual atau kreditur mengenai harganya dan telah diserahkan oleh penjual atau kreditur kepada pembeli atau debitur.
            Pemenuhan prestasi ini yang berupa pembayaran dengan sejumlah uang adalah merupakan essensi atau hakekat dari suatu perikatan atau perjanjian jual beli, berdasar ketentuan Pasal 1457 KUH.Perdata.Begitu pula halnya mengenai batas waktu pembayaran,biasanya telah di sepakati bersama oleh kedua belah pihak.Sehingga apabila dalam batas waktu yang di setujui tersebut pihak pembeli tidak dapat melakukan pemenuhan prestasi (membayar harga barang), dapatlah si pembeli dikatakan telah melakukan perbuatan wanprestasi atau inkar janji. Yaitu tidak memenuhi kewajiban yang telah ditentukan dan telah di sepakati bersama dalam perikatan atau perjanjian sebagaimana tersebut di atas.
            Tidak dipenuhinya kewajiban oleh pihak pembeli atau debitur ada dua kemungkinan, yaitu :
1.      Karena kesalahan debitur atau pembeli, baik karena kesengajaan  maupun karena kelalaian.
2.      Karena keadaan memaksa (force majeur, overmacht);terjadi di luar kemampuan debitur atau pembeli, debitur tidak bersalah.
Terhadap keadaan memaksa tersebut, maka pihak debitur tidaklah dapat di persalahkan, karena keadaan memaksa(force majeur, overmacht) tersebut timbulnya di luar kemauan dan kemampuan debiturTidak dipenuhinya prestasi yang diakibatkan karena adanya suatu keadaan memaksa(force majeur, overmacht) dapat terjadi manakala benda yang menjadi objek perikatan tersebut binasa atau lenyap (Pasal 1444 ayat (1) KUH.perdata); atau bisa pula terjadi dikarenakan perbuatan debitur untuk melakukan pemenuhan prestasinya,oleh ketentuan Pasal 1381 KUH.perdata perikatan atau perjanjian yang di maksud menjadi batal.[3]
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata, masalah keadaan memaksa(force majeur, overmacht) ini di atur dalam ketentuan Pasal 1244 dan 1245, di mana dalam kedua pasal tersebut terdapat bagian yang mengater tentang ganti rugi. Adapun dasar pikiran pembuat Undang-Undang ialah : “Keadaan memaksa(force majeur, overmacht) adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi”.[4]
Sehubungan dengan keadaan memaksa ini, kemudian timbul akibat :
1.      Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.(Pada Overmacht sementara sampai berakhirnya keadaan memaksa tadi).
2.      Gugurnya kewajiban debitur untuk mengganti kerugian.(Pasal-pasal 1244 dan 1245 KUH.Perdata).
3.      Pihak lawan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian.
4.      Gugurnya kewajiban untuk berprestasi dari pihak lawan.[5]

Sehubungan dengan keadaan memaksa(force majeur, overmacht) ini, dalam ilmu hukum dikenal adanya 2(dua) macam ajaran atau teori, yakni ajaran atau teori keadaan memaksa(force majeur, overmacht) yang subjektif atau relatif dan ajaran  atau teori keadaan memaksa(force majeur, overmacht) yang objektif atau mutlak.
Ajaran keadaan memaksa yang objektif diartikan bahwa tidak di penuhinya prestasi oleh debitur sifatnya relatif. Artinya barangkali hanya pihak debitur sendiri yang tidak dapat memenuhi prestasi, sedangkan bila orang lain yang mengalami peristiwa di maksud ada kemungkinan orang tersebut dapat memenuhi prestasinya.Sehingga untuk ajaran keadaan memaksa yang subjektif atau relatif ini dapat pula dikatakan sebagai “difficultas”. Pada keadaan memaksa yang subjektif ini, perikatan atau perjanjian tersebut tidak berarti menjadi batal, akan tetapi hanya berhenti berlakunya untuk sementara waktu. Apabila keadaan memaksa tersebut sudah tidak ada,maka perikatan atau perjanjian tersebut berlaku kembali.[6]
Dalam teori subjektif ini, ketidakmungkinan subjektif dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu:
1.      Debitur yang bersangkutan tidak mungkin memenuhi prestasi, misalnya karena debitur sakit atau jatuh miskin.
2.      Pemenuhan prestasi secara teoritis masih mungkin, akan tetapi praktis akan memberatkan debitur.
Jadi teori subjektif ini memperhatikan pribadi daripada debitur pada waktu terjadinya overmacht,misalnya kesehatan ,kemampuan keuangan debitur.
            Terhadap keadan memaksa yang objektif,maka perikatan atau perjanjian yang di buat oleh para pihak menjadi batal karenanya untuk waktu seterusnya. Sehingga akibat yang timbul dari peristiwa tersebut, para pihak tidak diwajibkan lagi atau dibebaskan dari segala kewajiban untuk memenuhi prestasinya masing-masing. Dengan perkataan lain, bahwa batalnya perjanjian tersebut menyebabkan seolah-olah tidak pernah ada perjanjian sebelumnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mendorong penulis untuk menyusun judul skipsi yang berjudul :
“OVERMACHT YANG OBYEKTIF SEBAGAI ALASAN UNTUK BATALNYA PERJANJIAN JUAL BELI KHUSUSNYA DI KOTA SEMARANG” 


                [1] Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1951-1978. Dihimpun dan Diproduksi oleh: Direktorat hukum dan Peradilan Mahkamah  Agung, 1979.
                        2 Purwahid, Patrik, Hukum Perdata I (Azas-Azas Hukum Perikatan). (Semarang: Seksi Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1986), Halaman 1.



                3 Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perikatan. (Bandung: Alumni, 1928), Halaman 20.    

4 R.Subekti, Hukum Perjanjian. (Jakarta : PT.Intermassa, 1979), Halaman 55
5 Purwahid, Patrik, op.cit, Halaman 20


6 Purwahid, Patrik, op.cit, Halaman 21  

No comments: